Minggu, 25 April 2010

Bernegosiasi di Tempat Kerja (1)

Oleh : Arbono Lasmahadi

Hari ini , Jumat Desember 24, 2004, sudah mendekati larut malam, pukul 23.00 WIB. Ruang kerja Harry Johan (bukan nama sebenarnya) , Manajer Senior Departemen Sumber Daya Manusia (SDM), PT. Dinamika Pangan Sehat - DPS (bukan nama sebenarnya) sebuah perusahaan nasional, masih terlihat terang menderang. Tampaknya hari ini merupakan hari tersibuk bagi Harry, karena dalam 2 minggu kedepan, akan terjadi peristiwa penting baginya, yaitu melakukan negosiasi pertama kalinya dengan Pihak Serikat Pekerja untuk membahas isi dari Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) untuk 2 tahun kedepan. Harry masih tenggelam dengan proses analisa data gaji dan fasilitas karyawan, yang akan menjadi salah satu pokok bahasan dalam negosiasi KKB.

Harry memang baru 3 bulan dipromosikan sebagai Manajer Senior SDM di perusahaan, menggantikan manajer sebelumnya yang telah memasuki masa pension. Sebelumnya Harry adalah adalah Manajer Keuangan, Harry tidak pernah sekalipun terlibat dengan urusan negosiasi KKB dengan serikat pekerja. Yang pernah ia lakukan adalah negosiasi harga dengan para pemasok barang atau jasa, itupun dalam skala yang kecil, dan bukan dalam skala perusahaan dengan jumlah karyawan kurang lebih 750 orang. Sejak dia dipromosi sebagai Manajer Senior SDM, maka negosiasi KKB merupakan tanggung jawab yang tidak dapat dia hindarkan.

Harry menyadari sepenuhnya bahwa keberhasilan dalam melakukan negosiasi KKB dengan pihak Serikat Pekerja, akan memberikan dampak positif terhadap terciptanya suasana kerja yang lebih kondusif bagi berjalannya bisnis perusahaan. Namun pada sisi lain, ia belum sepenuhnya yakin bahwa kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya dalam bernegosiasi dapat membantunya untuk menyelesaikan negosiasi ini dengan baik, seperti yang diharapkan oleh pihak manajemen perusahaan dan juga para karyawan. Disisi lain, sejarah negosiasi KKB di perusahaan ini selalu berlangsung dengan alot, dan memakan waktu berhari-hari. Bahkan beberapa tahun sebelumnya pernah mengalami "deadlock" , sehingga memerlukan bantuan dari juru penengah dari Dinas Tenaga Kerja Setempat. Harry sendiri belum mengetahui dengan persis alasan yang membuat proses negosiasi KKB di PT. DPS selalu berlangsung dengan alot. Yang dia ketahui adalah bahwa hubungan antara manajemen perusahaan dan serikat pekerja di perusahaan ini kurang harmonis. Dia menduga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya negosiasi KKB yang alot . Situasi dan kondisi inilah yang membuat Harry khawatir bahwa negosiasi KKB kali ini juga akan melalui proses yang sama, seperti sebelumnya.
Ilustrasi cerita di atas mungkin menggambarkan masalah yang pernah dihadapi oleh banyak praktisi SDM di Indonesia. Negosiasi KKB tidak jarang menjadi ajang untuk unjuk "kekuatan" dan "kekuasaan" dari pihak-pihak yang melakukan perundingan. Bila hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa proses perundingan akan berlangsung dengan alot, membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya, atau mungkin dalam kasus yang paling buruk terjadi "dead lock" sehingga membutuhkan keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah/Pusat (P4D/P) untuk menyelesaikannya.

Apakah proses negosiasi begitu sulitnya, sehingga harus berlangsung alot ?

Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung cara kita menangani proses tersebut. Semakin efketif kita menanganinya, semakin cepat proses negosiasi dapat diselesaikan. Bagaimana cara menangani proses negoasiasi secara efektif ? Melalui uraian berikut , penulis mencoba untuk menguraikannya berdasarkan pengalaman yang dimiliki dan juga kajian literatur yang ada. Semoga tulisan ini memberikan wawasan yang lebih baik kepada para praktisi SDM dan para pimpinan serikat pekerja, agar dapat melakukan proses negosiasi di tempat kerja secara efektif.

A. Pengertian Negosiasi

Menurut Stephen Robbins dalam bukunya "Organizational Behavior" (2001), negosiasi adalah proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut. Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala :
kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan, contoh : Seorang calon karyawan yang sedang berupaya mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya, dengan gaji seperti yang diharapkannya di sebuah perusahaan.

Sementara wewenang memberikan pekerjaan dan gaji berada pada pihak perusahaan.
terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak, contoh : Perusahaan yang sedang berupaya untuk melakukan pemutusan hubungan kerja masal tehadap sejumlah karyawan. Keinginan pihak perusahaan tidak dapat dilakukan tanpa keterlibatan dari pihak perwakilan pekerja, Dinas Tenaga Kerja, dan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat ( P4P)

Keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain. Contoh : Keberhasilan kerja Departemen SDM akan tergantung dukungan dari pihak manajemen dan masing-masing kepala departemen.
Kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, contoh : perusahaan yang sedang berupaya untuk merekrut seorang tenaga ahli yang sangat diperlukan oleh perusahaan, namun jumlahnya Sangat terbatas di pasar tenaga kerja, sementara tenaga ahli tersebut mengajukan permintaan paket kompensasi yang cukup tinggi.

Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ? Upaya negosiasi tidak diperlukan manakala :
• persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak, contoh : seorang karyawan yang tertangkap tangan melakukan pencurian, dan akan mengalami pemutusan hubungan kerja.
• salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain, contoh : pemogokan yang dibarengi dengan upaya sabotase.
• negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi, contoh : perwakilan pihak pekerja atau pengusaha dalam negosiasi KKB tidak diberikan wewenang untuk mengambil keputusan apapun selama negosiasi berlangsung.

B. Konsep-Konsep Penting

Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain :
• Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi ?
• Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan ?
• Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan

Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :
• BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement), yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan. Contoh : Bila pasal mengenai besarnya pesanggon yang harus diberikan dalam proses PHK yang diajukan pihak pengusaha tidak dapat disepakati oleh pihak serikat pekerja, maka negosiator dari pihak pengusaha mempunyai 2 pilihan ,yaitu mencoba untuk melakukan "trade off" dengan pasal mengenai penambahan cuti atau meninggalkan perundingan, bila tidak ada tanda-tanda positif dari para perunding pihak serikat pekerja untuk mau beranjak dari posisi-nya saat ini.
• Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi. Contoh : negosiator dari pihak pekerja akan menyepakati hasil perundingan KKB secara keseluruhan, apabila minimum 5 dari 10 usulan mereka dapat diterima oleh pihak perusahaan
• ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi. Contoh : target upah minimum yang dikehendaki oleh pihak pekerja adalah Rp. 1.000.000 (gross), sedangkan reservation price-nya adalah Rp. 750.000 (gross). Sedangkan target upah minimum yang dikehendaki oleh pihak pengusaha adalah Rp. 650.000 (gross), dan reservation price-nya adalah Rp. 850.000 (gross). Zona antara Rp. 750.000 (gross) dan Rp. 850.000 (gross) adalah ZOPA

Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas, maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan. Pengalaman penulis sebagai anggota tim negosiasi perusahaan untuk pembaharuan KKB, menunjukkan bahwa dengan memahami BATNA, Reservation Price dan ZOPA yang diberikan oleh pihak manajemen perusahaan, memudahkan penulis dan team negosiator perusahaan untuk melakukan proses negosiasi secara lebih fleksible dan terarah. Dengan demikian , tim perunding dari pihak manajemen tidak perlu setiap saat menghubungi pihak manajemen untuk meminta pendapat atau mendapatkan keputusan. Hanya bila hal-hal yang dirundingkan melampaui batas BATNA, Reservation price, atau ZOPA yang telah ditentukan sebelumnya, tim negosiator menghubungi pihak manajemen perusahaan untuk meminta pendapat.

C. Macam- Macam Negosiasi

Pada dasarnya ada 2 macam negosiasi, yaitu :
1. Distributive negotiation- Zero sum negotiation (win-lose), yaitu suatu bentuk negosiasi yang didalam proses pelaksanaannya para pihak yang terlibat bersaing untuk mendapatkan sebanyak mungkin keuntungan atau manfaat yang ada. Meningkatnya manfaat yang diperoleh salah satu pihak akan mengurangi manfaat yang diperoleh oleh pihak lain. Biasanya perundingan semacam ini terjadi bila hanya ada satu masalah yang menjadi materi perundingan Contoh : Negosiasi untuk menentukan besarnya pesangon yang akan diberikan kepada karyawan yang akan di – PHK.
2. Integrative negotiation (win-win), yaitu suatu bentuk negosiasi yang dalam proses pelaksanaannya, para pihak yang terlibat bekerja sama untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya atas hal-hal yang dirundingkan dengan menggabungkan kepentingan mereka masing-masing untuk mencapai kesepakatan. Negosiasi semacam ini biasanya terjadi bila ada lebih dari satu masalah yang menjadi materi perundingan. Contoh : negosiasi untuk memperbaharui KKB

Dalam kenyataannya hampir semua negosiasi yang kita lakukan merupakan kombinasi dari kedua macam bentuk negosiasi tersebut di atas. Dalam proses negosiasi terkadang kita perlu berkompetisi dengan pihak lain untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan. Namun tidak jarang juga kita bekerja sama dengan pihak lain untuk dapat memaksimalkan hasil negosiasi yang akan dicapai.

D. Stategi Dalam Bernegosiasi

Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut :
1. Win-win . Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation. Contoh : Pihak manajemen sepakat untuk memberikan paket PHK di atas ketentuan pemerintah, dan pihak pekerja sepakat untuk dapat segera mengakhiri hubungan kerja dengan damai
2. Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan. Contoh : Pihak pekerja terpaksa menyepakati kenaikan gaji di bawah target yang telah mereka usulkan sebelumnya kepada pihak perusahaan.
3. Lose-lose .Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan. Contoh : Pihak pengusaha akhirnya melakukan upaya "Lock out", karena pihak pekerja tidak bersedia untuk menghentikan pemogokan.
4. Lose-win .Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka. Contoh : Pihak pengusaha sengaja memberikan beberapa konsesi yang tidak terlalu signifikan kepada pihak pekerja, dengan harapan dapat membangun kepercayaan dengan pihak pekerja di masa yang akan datang.

E. Taktik Dalam Negosiasi

Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator.
1. Membuat agenda . Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan.
2. Bluffing. Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar. Contoh : Pihak pengusaha menunjukkan bahwa mereka tidak peduli sama sekali dengan ancaman pihak pekerja untuk melakukan pemogokan bila perundingan gagal (padahal sebenarnya mereka khawatir bila pemogokan terjadi).
3. Membuat tenggat waktu (deadline). Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan. Contoh : Pihak pengusaha menyatakan kepada pihak pekerja , bahwa bila paket PHK yang ditawarkan tidak diambil Sekarang, maka paket PHK yang akan diberikan berikutnya akan lebih rendah dari yang ditawarkan saat ini
4. Good Guy Bad Guy .Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh "jahat’ dan "baik" pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh "jahat" ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh "baik" ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapapat Tokoh "jahat", sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
5. The art of Concesión .Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi . Contoh : Pihak pengusaha sepakat untuk memberikan kenaikan gaji yang diminta pihak pekerja, asal pihak pekerja sepakat untuk mendukung pihak pengusaha mengurangi jumlah pekerja.
6. Intimidasi. Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak. Contoh : Pihak pekerja mengancam bahwa bila permintaan kenaikan gaji mereka tidak dipenuhi oleh pihak pengusaha, maka mereka akan melakukan pemogokan selama 1 bulan.

F. Perangkap Dalam Negosiasi (Negotiation Sandtraps)

Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya The Mind and the Heart of Negotiation, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama , yaitu :
1. Leaving money on table (dikenal juga sebagai "lose-lose" negotiation), yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan "win-win" solution. Contoh. Bila perunding dari pihak pengusaha sedikit sabar dalam memberikan waktu kepada pihak pekerja untuk melakukan konsultasi diantara mereka, maka suasana perundingan akan menjadi lebih kondusif, sehingga kemungkinan terjadinya "win-win" solution akan menjadi lebih besar.
2. Settling for too little ( atau dikenal sebagai "kutukan bagi si pemenang"), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh. Contoh : Pihak pekerja memberikan dukungan kepada pihak pengusaha untuk melakukan pengurangan pekerja, dengan konsesi akan diberikan kenaikan gaji sedikit di atas tingkat inflasi.
3. Meninggalkan meja perundingan, yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan. Contoh : Pihak pekerja menolak menerima penawaran paket PHK dari pihak pengusaha, yang besarnya 50 % di atas ketentuan pemerintah, dan tetap menginginkan paket yang besarnya 100 % di atas ketentuan pemerintah. Mereka memilih untuk meninggalkan meja perundingan, dan memilih penyelesaian melalui mekanisme P4P. Mereka berpikir dengan penyelesaian melalui mekanisme P4P, keinginan mereka dapt dipenuh oleh P4P. Namun banyak kasus, masalah ini diputuskan oleh P4P sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau setidaknya berdasarkan tawaran yang dikajukan oleh pihak pengusaha.
4. Settling for terms that worse than the alternative, terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain. Contoh : Karena selama ini hubungan antara pihak pengusaha dan pihak serikat pekerja cukup baik dan pihak pengusaha banyak membantu serikat pekerja, maka para perunding dari pihak serikat pekerja sulit untuk menolak tawaran pihak pengusaha untuk hanya menaikan gaji karyawan berdasarkan inflasi. Padahal melihat hasil prestasi perusahaan, pihak perunding dari serikat pekerja, dapat mengajukan alternatif kenaikan gaji yang lebih tinggi dari nilai inflasi. (bersambung).
----------------------------------------------
* Penulis adalah alumni program Pasca Psikologi Universitas Indonesia, program studi Psikologi Sumber Daya Manusia. Saat ini penulis bekerja sebagai praktisi SDM di sebuah perusahaan multinasional asing. (JPS)

Konflik Dalam Organisasi

Oleh : Ubaydillah, AN

Dua Penyikapan

Ada kebenaran umum yang sering dipakai untuk menjelaskan konflik ini dalam kajian komunikasi. Katanya, konflik itu adalah konsekuensi dari interaksi. Kalau tidak berkonflik, ya jangan berinteraksi. Atau juga bisa diartikan, kalau masih punya kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia, mau tidak mau, kita harus siap menghadapi konflik.

Ada juga pepatah yang isinya mirip seperti kebenaran umum itu. Pepatah itu mengatakan, jika kita mengharapkan adanya seseorang yang jiwa dan raganya 100% sempurna seperti yang kita inginkan, karena kita mengkhawatirkan konflik atau lainnya, caranya simpel. Kita tinggal mengunci kamar dan tinggal sendirian di dalam. Dijamin pasti tidak akan pernah berkonflik dengan manusia manapun.

Oleh Horney (Our inner conflict: 1945) dikatakan bahwa kebutuhan manusia itu pada dasarnya bisa digolongkan menjadi tiga di bawah ini:
Kita butuh bergerak mendekati orang untuk mendapatkan cinta
Kita butuh menjauhi orang untuk mendapatkan kebebasan dan kemandirian
Kita butuh menentang orang untuk menunjukkan kekuatan

Meski penjelasan di atas nampak ekstrem atau sepertinya hitam-putih, tapi kalau melihat realitas kehidupan organisasi sehari-hari, baik dari skala paling mikro sampai ke paling makro, memang konflik itu lebih sering merupakan kenyataan yang sulit dihindari. Bahkan pandangan yang skeptik-pesimistik-nya mengatakan, konflik itu keniscayaan. Kedamaian sendiri terkadang harus ditempuh dengan perang.

Secara spiritualnya, kita diajarkan untuk melihat konflik dengan dua penyikapan. Pertama, kita dianjurkan untuk menghindari berbagai hal yang memancing atau mengakibatkan konflik, sekuat tenaga kita. Orang Indonesia terkenal ramah, tepo seliro dan saling menghormati (katanya). Sebenarnya inti dari nilai itu ingin mengatakan bahwa konflik tidak berarti rusaknya tatanan keharmonisan dan persaudaraan, karena konflik itu hanya merupakan indikator adanya perbedaan yang perlu disinkronisasikan demi mencapai tujuan yang satu dan sama.

Kedua, ketika konflik itu sudah tak bisa dihindari lagi, entah sengaja atau tidak, yang perlu dijaga adalah jangan sampai salah arah hingga skalanya terus memanas dan akhirnya berubah menjadi permusuhan atau menimbulkan efek yang merusak, seperti misalnya permusuhan batin, baku hantam, dan seterusnya. Sekuat apapun organisasi itu di-back-up oleh resources, tapi kalau konfliknya di dalam terus memanas, maka organisasi itu akan kehilangan wibawa atau kekuatannya.
"Hindarilah perdebatan, walaupun anda benar, ketika itu ujung-ujungnya konflik, lebih-lebih permusuhan."

Tergantung Frekuensi dan Efek

Meskipun konflik itu tetaplah konflik, tapi kalau dilihat dari efeknya, kita bisa membedakan sedikitnya menjadi dua. Pertama, ada konflik yang masih fungsional. Konflik dikatakan fungsional ketika materi yang konflikkan itu terkait dengan perbedaan tentang bagaimana memacu organisasi untuk lebih maju lagi.

Konflik fungsional masih menggunakan cara-cara beradab atau terbuka dalam menyikapi perbedaan sehingga masih bisa diambil sisi-sisi positif dari setiap perbedaan dan masing-masing pihak masih memiliki hubungan kemanusiaan yang harmonis. Berdasarkan praktek hidup, konflik disebut fungsional bukan karena konfliknya, tetapi lebih karena penyikapannya.

Kedua, ada yang sudah disfungsional. Konflik akan dikatakan sudah disfungsional ketika telah mengarah kepada penyerangan, pemboikotan, atau penghinaan antar anggota organisasi. Biasanya, konflik semacam ini terjadi ketika konflik itu sudah mendewakan kepentingan pribadi-pribadi di atas kapal organisasi, menempuh cara-cara penyerangan secara di balik layar atau melalui skenario keji. Pihak yang paling dirugikan pertama kali sebetulnya adalah organisasi.

Hal lain yang juga perlu dilihat dari munculnya konflik dalam organisasi adalah frekuensinya. Secara frekuensi, organisasi perlu melihat apakah konflik di dalam organisasi itu sifatnya masih temporal dan insidental untuk hal-hal tertentu atau keadaan tertentu ataukah memang sudah kronis. Kronis artinya terus menerus berlangsung atau sudah seperti penyakit yang tak sembuh-sembuh.

Secara logika bisa dikatakan bahwa ketika konflik itu masih temporal atau insidental, bisalah kita memahaminya masih dalam ambang wajar. Tapi kalau sudah kronis, mau tak mau, organisasi perlu memikirkan pemecahannya. Sebab kalau tidak, konflik itu mudah mengundang konflik lain ke tingkat yang sudah multi-dimensi.

Pemicu Konflik

Apa yang membuat organisasi itu sangat rentan terhadap munculnya konflik? Secara superfisial (permukaan), atau bisa dikatakan sebagai sebab-sebab umum, konflik dalam organisasi itu sering dipicu oleh beberapa hal di bawah ini:

Pertama, definisi tanggung jawab atau tugas yang tidak jelas, tidak disepakati secara jelas, atau tidak dijalankan dengan jelas. Semua ketidakjelasan ini sangat merentantankan terjadinya tabrakan antarindividu dalam organisasi. Meskipun pasti tidak ada organisasi yang sanggup merumuskan seluruh tuntutan dan tugas secara tertulis, tapi pembagian tugas yang bisa dijadikan acuan individu untuk berperan tetaplah dibutuhkan.

Pembagian tugas pun terkadang tidak menjamin jika penjabarannya terlalu ketat atau belum sesuai dengan kebutuhan. Idealnya, dalam rumusan pembagian tugas itu tetaplah harus ada tugas-tugas yang bisa disebut mekanistik atau siapa mengerjakan apa secara definitif dan ada tugas yang bisa disebut organistik atau tugas-tugas yang perlu dijalankan berdasarkan cara kerja panggilan naluri dan nurani. Ini semua akan bekerja secara harmonis berdasarkan pengalaman dan proses.

Kedua, persoalan resources, baik itu uang, materi, fasilitas, ruang, dll. Semua organisasi pasti mengalami kekurangan sumberdaya. Persoalan ini tidak hanya soal kurangnya resources, tapi konflik juga bisa timbul kalau kelebihan resources. Kegagalan mengelola keterbatasan resources, bisa menimbulkan konflik. Misalnya, sanggup mengelola keterbatasan dengan tidak membuat program yang tak sesuai kapasitas dan ada yang programnya melebihi pasak daripada tiang. Sekedar catatan, program yang tak sesuai dengan resource sangat memicu konflik, meski belum tentu menciptakan konflik, tapi positifnya, bisa menghasilkan proses kreatif jika orang-orang bisa berpikir dan bekerja untuk organisasi, bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Fasilitas yang melimpah ruah tidak menjamin hilangnya sumber konflik. Bahkan kalau merenungkan nasehatnya John Dewey, resource dalam arti materi, itu relatif tersedia untuk semua tingkatan organisasi. Yang justru sering krisis adalah ide atau gagasan untuk menggunakan internal resources manusia, misalnya tidak menggunakan kreativitias, inisiatif, kemampuan inovatif, daya tahan mental, dsb. Kurangnya penggunaan resource potensi manusia itu yang akhirnya sering membuat organisasi benar-benar mengalami kerugian resource dalam arti materi.

Ketiga, ada self-interest yang sifatnya egoistik dari sebagian orang di dalam organisasi itu. Self-interest akan mendikte perilaku seseorang untuk melawan, mengalahkan, atau menolak kesepakatan bersama. Karenanya akan memicu konflik. Agar self-interest ini tidak muncul, maka organisasi dituntut untuk merumuskan program yang bisa mengayomi keinginan kolektif dan individu secara adil, bukan semata berdasarkan klaim.

"Organisasi dituntut untuk merumuskan program yang bisa mengayomi keinginan kolektif dan individu secara adil, bukan semata berdasarkan klaim."

Peranan Leadership

Peranan kepemimpinan sangat vital. Selain berperan untuk mengelola berbagai faktor pemicu di atas, kepemimpinan juga berperan untuk menampilkan model dan kualitas kepemimpinan yang tidak mengundang konflik. Model kepemimpinan yang terlalu otoriter terkadang sama rawannya dengan model kepemimpinan yang terlalu demokratis.

Terlalu otoriter dapat menciptakan suasana ketegangan dan kebuntuan inisiatif. Tapi kalau terlalu demokratis, ini juga dapat memberi ruang kebebasan yang tanpa batas. Ketegangan dan keliaran sama-sama merawankan konflik. Karena itu sering dikatakan bahwa syarat kepemimpinan yang mendasar adalah kemampuan seseorang dalam memimpin dirinya lebih dulu (self-control).

Kepekaan kontrol akan memampukan seseorang untuk mengurangi yang berlebihan, menambah yang kurang atau menyesuaikan keadaan. Pada dasarnya, semua model kepemimpinan itu ada baiknya, asalkan digunakan untuk kondisi yang tepat, dalam porsi yang tidak kebablasan dan dijalankan oleh orang yang visinya bukan untuk kepentingan pribadi.

Nilai–nilai universal, nilai kultural atau nilai personal yang dijadikan acuan dalam organisasi itu juga punya keterkaitan dengan konflik. Organisasi yang nilai-nilainya sudah menjadi budaya hidup akan lebih terhindar dari munculnya konflik yang sudah disfungsional atau kronis. Ini karena nilai-nilai itulah yang membimbing semua orang dalam organisasi.

Tetapi jika nilai-nilai itu hanya dijadikan "alat kepentingan" atau sekedar tulisan yang dipampang di tembok, biasanya wibawa nilai-nilai itu kurang dahsyat membentuk prilaku. Artinya, kepemimpin itu menuntut siapa saja untuk menjadi "man of value", bukan semata "man of interest". Karena itu, meminjam istilahnya Peter Senge (Learning Organization, Dr. Sue Faerman: 1996), kepemimpinan dalam organisasi itu perlu berperan sebagai berikut:

Designer: merumuskan apa yang perlu dilakukan, mendesain pembagian tugas secara proporsional, adil, dan sesuai kompetensi orang-orang yang dimiliki
Teacher : guru yang membina keahlian kerja dan membimbing pribadinya
Steward : pemberi guidance dalam melaksanakan tugas atau dalam menyelesaikan masalah

Bagi Senge, ketiga peranan di atas adalah syarat untuk menjadikan organisasi sebagai tempat belajar bagi orang-orang di dalamnya. Belajar berarti mengubah diri untuk mengubah keadaan. Organisasi yang belajar menuntut individu yang belajar. Konflik akan relatif menjauhi individu yang belajar. Kalau pun konflik itu harus terjadi, biasanya tak sampai mengakibatkan kerusakan.
"Kepemimpin itu menuntut siapa saja untuk menjadi man of value, bukan semata man of interest".

Lebih Baik Ada Pemimpin

Ketika konteksnya organisasi, mau itu keluarga, usaha, sosial, atau negara sekali pun, kehadiran kepemimpinann sangatlah vital dalam mencegah konflik atau dalam mengarahkan energi organisasi untuk belajar dari konflik. Kenapa? Salah satu alasannya adalah, ketika manusia masuk dalam organisasi, biasanya yang paling menonjol adalah watak sosialnya.

Semua watak sosial manusia memiliki ciri yang sama, yaitu membutuhkan kehadiran orang lain yang membimbing, melatih, mengontrol, atau memimpin. Karena itu dikatakan bahwa organisasi itu akan lebih baik ada orang yang memimpin atau dianggap sebagai pemimpin, meski dia bukan sosok yang sempurna, ketimbang tidak ada pemimpinnya sama sekali.

Kita mungkin sudah sering mendengar cerita dimana ada sejumlah orang pintar yang ditugaskan untuk sebuah misi, namun akhirnya gagal mencapai tujuan dari misi. Mereka bertengkar karena masing-masing merasa menjadi pemimpin yang sama pintarnya. Tapi, giliran yang ditugaskan itu ada orang pintarnya yang menjadi pemimpin atau dianggap pemimpin oleh yang lain, ternyata hasilnya lebih bagus.

Semoga bermanfaat. (JPS)

Konflik dan Agresi

Oleh : Ubaydillah, AN

Rasa-rasanya sudah semakin biasa kita menyaksikan perilaku agresi massa. Menurut definisinya, seperti ditulis Danelson R. Forsyth (Social Psychology: 1987), perilaku massa dapat disebut agresi (penyerangan) apabila sudah menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi orang lain melalui cara-cara yang memang sudah diniatkan. Bahasa yang kerap dipakai di media-media kita adalah ”amuk massa”. Jika mengamati pemberitaan media sejak Reformasi, massa di kita sepertinya mudah sekali mengamuk. Sebab-sebabnya ada yang riil, misalnya penggusuran oleh pemerintah, eksekusi lahan yang sudah ditempati bertahun-tahun, atau pengadilan yang tidak adil menurut persepsi pihak-pihak tertentu.

Ada lagi yang karena interpretasi, terlepas itu salah atau benar. Ini bisa kita lihat betapa seringnya rumah makan asing atau tempat yang dikonotasikan berasal dari asing yang menjadi sasaran amuk massa, seperti yang terjadi di Sulawesi. Massa yang semula ingin demo antikorupsi, tetapi kemudian berubah menjadi amuk sehingga merusak rumah makan.

Ada juga yang karena reaksi emosional spontan, seperti perilaku yang langsung muncul, seperti yang terjadi di salah satu sekolah tinggi di Indonesia Timur baru-baru ini. Sekelompok mahasiswa yang ingin mendemo kebijakan rektornya tiba-tiba menjadi amuk massa karena ada salah seorang mahasiswa yang bentrok dengan personil keamanan di kampus itu. Bahkan ada yang karena kekesalan semata, yang tidak jelas kesal sama siapa. Kalau dicari-cari pembenarnya, tentu yang paling enak adalah kesal dengan pemerintah. Misalnya rekrutmen pegawai negeri yang harus ngantri panjang, lalu karena persoalan kecil yang sepele, massa kemudian mengamuk di kantor pemerintah itu.

Jika meminjam istilah para ahli psikologi, agresi massa di kita sudah sampai pada tingkat yang pantas disebut gejala de-individuasi massa (mass deindividuation) atau massa yang telah kehilangan kesadaran identitas dirinya. Anggota dewan yang terhormat bisa mengamuk, para guru bisa mengamuk, para mahasiswa bisa mengamuk. Mengamuk bukan lagi label untuk pekerja kasar yang sekolahnya rendah, hidupnya susah, dan status sosialnya marjinal.

Konflik Diri & Agresi

Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, konflik diri adalah keadaan dis-harmony yang terjadi di dalam diri seseorang. Bisa karena gap antara harapan dan kenyataan, antara keinginan dan paksaan, atau antara idealita dan realita. Intinya, konflik-diri timbul dari dua sebab yang sangat sinergis, yaitu ketidakmampuan internal (penentu) dan kondisi eksternal (pemicu).

Sebagian keadaan yang diizinkan Tuhan untuk terjadi, tentu konflik itu memiliki kegunaan. Soal kita gunakan untuk yang positif atau yang negatif, ini kita yang dipersilahkan untuk memilih. Jika kita berhasil memilih penggunaan yang positif, hasilnya berupa dinamika, kemajuan, dan pencapaian. Bayangkan kalau kita tidak dikasih konflik diri? Pasti dinamika tidak ada. Ilmu pengetahuan dan teknologi terhenti perkembangannya. Industri pun akan mati.

Tapi jika kita memilih membiarkan, mengabaikan, atau melampiaskannya dalam kemarahan, entah terhadap diri sendiri, orang lain, atau keadaan, maka tidak menutup kemungkinan konflik itu dapat membangun rentetan gangguan, dari mulai stress, depresi, sampai ke disorder (kekacauan sistemik dalam jiwa). Ibarat mesin, gangguan itu merupakan kotoran yang menganggu kinerja atau bisa merusaknya. Jika menelaah paparan para ahli mengenai apa saja gejala buruk dari gangguan jiwa itu, maka secara globalnya bisa disimpulkan dua hal berikut, yang variannya bermacam-macam:
• Membuat orang menjadi terlalu pasif: acuh tak acuh, memendam kebencian dan kedendaman, antisosial, tak peduli tarhadap rangsangan positif, suka mengkhayalkan datangnya keajaiban tanpa usaha, dan seterusnya
• Membuat orang terlalu agresif: komunikasinya mengancam, keputusannya ngawur, mudah tersulut untuk melakukan tindakan di luar batas, egonya terlalu tinggi, dan seterusnya.

Jika itu terjadi hanya pada satu orang, karena ada pemicu riilnya, dan sifatnya temporer (reaktif sesaat), tentu masih dapat dikontrol. Tapi jika itu sudah meng-umum, dipicu oleh sketsa yang sudah kacau, dan berlangsung lama (membudaya di masyarakat), maka peradaban sebuah bangsa akan terancam. Akan semakin banyak orang Indonesia yang malu untuk mengatakan bangsa kita suka damai, tenang, dan toleran, karena faktanya tidak begitu.

Pada titik inilah kita punya landasan yang bisa menjembatani rententan kesimpulan bahwa konflik-diri itu memiliki keterkaitan dengan seringnya terjadi agresi massa di kita. Bahwa ada keterkaitan yang nantinya disebut causatif (sebab langsung) atau correlative (sebab tidak langsung), ini mungkin bisa dibedakan berdasarkan keadaan dan kasus.

Teori di Balik Agresi

Di tahun 2000, saya dilibatkan dalam tim untuk mengundang pelamar yang akan diseleksi untuk mengisi beberapa lowongan kerja di kapal pesiar di Eropa. Mereka yang minimal berpendidikan D3, berpengalaman di bidangnya, bisa berbahasa asing minimal Inggris, dan seterusnya, kita undang lewat koran, yang tentunya suka rela dan free.

Karena harus diseleksi tingkat elektabilitasnya, emploibilitasnya, dan dokumennya, maka mau tak mau harus ngantri sesuai dengan urutan dan posisi yang ingin dilamar. Tak lama setelah antrian berjalan, tiba-tiba ada sekelompok orang yang bikin gaduh dengan membawa protes agresif yang isinya kira-kira begini: ”Pak, saya ke sini ini sudah ijin kerja, tidak bisa saya nunggu lama-lama di sini, saya harus diseleksi sekarang, pokoknya!” Tentu protesnya tidak bisa dipenuhi karena proses seleksi harus berjalan sesuai dengan antrian. Kawan saya yang berusaha ”memasukkan ke hati” mengatakan protes semacam itu tidak waras. ”Kita tidak mau asal terima orang, kita mengundangnya suka rela, kenapa mereka memaksa?”, dan masih panjang lagi komentarnya.

Setelah kita sering melihat sidang DPR ditayangkan langsung di TV, ternyata protes agresif semacam itu kita jumpai juga di sidang yang terhormat. Untuk urusan jam makan, waktu sholat, atau interupsi, orang bisa berdebat panjang lebar hingga terlontar kata-kata yang sudah keluar konteks. Padahal, di sidang yang terhormat itu pasti sudah ada aturan bakunya.

Pertanyaannya, sudah pantaskah kita menyebut protes agresif itu sebagai perilaku yang tidak logis? Jika kita hanya melihat tindakannya semata, mungkin saja orang bisa mengatakan kurang logis, tetapi kalau dilihat apa yang melatarbelakanginya, mungkin saja itu akibat kausatif yang wajar, alias memang seperti itu konsekuensi yang harus diterima. Kalau membaca teori-teori yang membahas agresi sosial, sedikitnya ada dua sumber yang bisa menjelaskan kenapa massa itu mudah agresif, yaitu:
1. Pertama, learned mass agression—materinya sudah diproses lama dalam jiwa sejumlah individu yang disebut massa. Ini misalnya orang sudah berpikir kalau tidak pakai kekerasan, usaha untuk didengar akan gagal, sudah lama ditekan sehingga saatnya memuntahkannya, pelampiasan kekecewaan, tayangan, dst.
2. Kedua, unlearned mass agression—terjadi secara spontan karena ikut-ikutan, karena naluri untuk mempertahankan diri atau untuk menciptakan keamanan, misalnya diserang oleh kelompok, dihakimi secara tidak adil, menjumpai maling yang tertangkap basah, dst.

Dari yang bisa kita amati terhadap agresi massa yang kerap terjadi, ada banyak bukti yang bisa untuk mengatakan bahwa the unlearned mass agression tidak terlalu berperan banyak dalam meng-anjlok-kan kualitas peradaban sebuah bangsa. Di banyak kasus, agresi ini tidak memiliki sebab-sebab yang berantai dan secara umum masih terbilang manusiawi, meski tidak bisa dibenarkan. Tapi, untuk yang the learned mass agression, ini kerapkali sudah ruwet karena ada dua pihak yang telah sama-sama membangun sebab-sebab berantai. Misalnya tayangan televisi. Secara sepihak, kita bisa mengatakan stasiun TV-nya yang salah, kenapa agresi ditampilkan. Tapi, kalau melihat alasan dari pihak stasiun TV-nya, mungkin bukan itu logikanya.

Logika yang sering dipakai dunia industri, termasuk media televisi, adalah karena masyarakat kita menikmati tayangan sensasi dan ini terkait dengan rating. Rating itu ada kaitannya dengan iklan, dan iklan itu terkait dengan hidup-matinya stasiun TV. Apakah kita mau kembali ke model TVRI tempo doeloe? Ini hanya contoh yang sepele.

Pendidikan Berorientasi Kematangan

Sama sekali bukan sebuah harapan yang tepat untuk mengandalkan lembaga pendidikan agar dapat berperan full mengatasi agresi massa. Pendidikan punya masalah internal dan eksternal. Pendidikan sudah berbuat banyak, meski hasilnya belum banyak.Tapi, kira-kira, hanya kepada pendidikanlah kita bisa lebih banyak berharap. Mau kita mengharapkan keluarga atau masyarakat, kini sudah semakin banyak orangtua yang harus bekerja di luar rumah, bukan untuk kaya, tetapi untuk sekedar survive mengimbangi semakin tidak berdayanya penghasilan rupiah dengan inflasi, serbuan barang konsumsi, dan budaya serba uang.

Dilihat dari apa yang masih bisa dilakukan oleh pendidikan terkait dengan agresi, maka salah satu yang penting adalah menjalankan proses pendidikan yang berorientasi pada kematangan jiwa (mental dan moral skill), bukan semata job / academic skill. Ini antara lain dapat ditempuh dengan menanamkan sikap yang co-operative dan mekanisme kreatif dalam menyikapi perbedaan yang sudah tidak bisa disamakan atau dalam mengelola gap.

Sebagai contoh, sampai nanti kiamat, agama Tuhan di bumi ini tidak satu dan berbeda luarnya, meski esensinya sama. Jika kita masih menanamkan sikap konfrontatif agar agama itu harus satu dan sama, berarti kita telah menitipkan kebencian dan mengajarkan mekanisme yang depresif pada generasi. Sudah nyari kerjaan susah, masih juga kita bebani untuk saling membenci.

Selain perlu ada nilai yang mendasari sikap co-operative dan mekanisme kreatif itu, perlu juga metode pengajaran yang meng-explore, bukan men-depresi, memberi tantangan, bukan memberi tekanan. Misalnya, untuk supaya bisa dibilang hebat oleh wali murid, kita menggenjot siswa dengan PR atau ekstrakurikuler yang tidak kita barengi dengan upaya mematangkan mentalnya. Siswa menderita stress kerja karena incompatible antara kematangan dan pekerjaaan.Yang juga sangat penting adalah kualitas attachment antara guru dan murid. Hubungan guru dan murid akan kering apabila hanya didasari transaksi, profesi, atau materi. Perlu hubungan yang didasari oleh nilai, kedekatan personal yang sangat human sehingga memunculkan secure attachment, kedekatan yang memberi support dan comfort.

Hasil riset psikologi, seperti dikutip Judith R. Harris (The Child: 1991), memberikan petunjuk, anak yang kurang mendapat secure attachment dari orang dewasa di sekitarnya akan cenderung agresif, kurang kompeten dalam menghadapi kemalangan, auranya kurang periang, gampang ngamuk menyikapi perbedaan. Mungkin, sekolah yang kultur dan iklimnya kurang bersahabat, dapat memicu gaya hidup siswa yang agresif juga.

Melihat Berbagai Dimensi

Agresi massa yang kata pengamat semakin cenderung meningkat di kita, sepertinya tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi dan dimensi. Bagi negara, ini harus dilihat sebagai koreksi, kenapa bangsa saya gampang ngamuk dan mudah disuruh bunuh diri dengan iming-iming surga? Bagi masyarakat, tekanan eksternal harus kita sikapi dengan meningkatkan mekanisme internal supaya lebih tertantang untuk maju, bukan selalu memuntahkannya keluar. Semoga bisa kita jalankan. (JPS)

Kapankah Kompetisi Berubah Menjadi Konflik

Oleh : Ubaydillah, AN

Kompetisi & Konflik

Kalau melihat ke arti dasarnya, kompetisi itu tidak otomatis langsung mengandung konflik. Kamus bahasa Inggris, Merriam Webster’s, misalnya, menjelaskan kompetisi itu diambil dari bahasa Latin, competere, yang kemudian berubah menjadi to compete dalam bahasa Inggris. Competere sendiri mengandung banyak arti, antara lain: mencari bersama (to seek together), menyetujui (agree), pergi bersama (to go together) atau menyesuaikan (be suitable). Dari sekian arti itu hampir tidak kita temukan yang mengarah pada konflik.

Memang ada sedikit perubahan ketika competere menjadi to compete. To compete adalah berjuang untuk mencapai sasaran, baik ditempuh secara sadar atau tidak sadar. Atau juga berada di dalam situasi persaingan, seperti perusahaan yang sedang merebut hati pelanggan. Yang menarik di sini, ternyata ketika dalam bahasa Inggris pun, kata itu bentuknya intransitive, yang berarti tidak butuh objek (korban), seperti kata memukul, membenci, menghina, atau merendahkan.

Namun, rasa-rasanya sudah biasa kalau kita menjumpai perbedaan antara apa yang tertulis di atas kertas dengan apa yang terjadi di praktek hidup. Seperti kata orang, dalam teori, antara praktek dan teori itu sama. Tapi, dalam praktek, antara teori dan praktek adalah dua hal yang berbeda. Terbukti, menurut hasil survei, seperti yang dikutip Donelson R. Forsyth dalam bukunya Sosial Psychologi (1987), ternyata yang sering menjadi sumber konflik di kantor adalah kompetisi atau persaingan, entah untuk merebut jabatan, pendapatan, atau pengakuan. Kalau kita lihat, tidak menutup kemungkinan jika dari persaingan itu kemudian menimbulkan permusuhan, baik antar pribadi atau antar geng. Permusuhannya pun macam-macam; ada yang masih dalam bentuk permusuhan batin dan ada yang sudah berbentuk permusuhan lahir (kelihatan, fisik, dst).

Kapankah Kompetisi Menjadi Konflik?

Dari praktek yang umum terjadi, kompetisi akan segera berubah menjadi konflik ketika sasaran kita adalah to beat: mengalahkan orang lain, menghancurkan, atau menang dengan cara yang ngasorake (merendahkan). Karena tidak ada orang yang mau dikalahkan, maka konflik akan muncul. Dalam aturan kompetisi, memang harus ada orang yang bisa dibahasakan sebagai pihak yang kalah atau yang menang. Sejauh itu aturan main, yang letaknya di luar diri kita, itu tidak masalah; yang masalah adalah ketika kita sudah merendahkan atau mengalahkan orang lain untuk meraih kemenangan.

Supaya konflik tidak muncul, maka sasarannya perlu kita ganti, dari to beat ke to win atau meraih kemenangan yang pengertiannya adalah menjadi the best dari yang bisa kita lakukan terhadap diri kita (to achieve competitive advantages). Kompetisi juga sudah perlu dipahami sebagai benih-benih konflik ketika suasana, situasi, dan iklim interaksi yang muncul telah mengeluarkan aroma permusuhan, penjegalan, atau pembunuhan karakter.

Ada pelajaran yang cantik tentang kompetisi ini dari makna yang ada di balik abjad Jawa yang jumlahnya 20 itu. Rententan makna di baliknya mengajarkan kita bahwa kita ini adalah utusan atau makhluk Tuhan yang dibekali perbedaan, dari jenis kelamin, bakat, sampai profesi (Honocoroko). Dengan bekal perbedaan itu, hendaknya kita menggunakannya untuk melakukan berbagai peranan yang sesuai dengan perintah-Nya, seperti mengasah keunggulan atau bekerjasama untuk berprestasi atau berkontribusi (Dotosowolo). Jika perbedaan itu kita gunakan sesuai aturan / perintah-Nya, misalnya berkompetisi, maka masing-masing kita akan menjadi jaya dengan perbedaan itu, sesuai usaha, atau menjadi yang terbaik dari diri kita (Podojoyonyo). Sejauh kita ikhlas atau meniatkan semua proses itu atas kesadaran untuk menjalankan perintah Tuhan, maka tidak saja kejayaan di dunia ini yang kita peroleh, nanti di mata Tuhan pun akan dimuliakan (Mogobotongo).

Budaya Tenggang Rasa & Komunikasi

Apa yang membuat kompetisi itu bisa cepat berubah menjadi konflik dalam sebuah organisasi? Salah satu yang paling mendasar di sini adalah paradigma tenggang rasa yang telah menjadi budaya kerja atau yang sudah dipraktekkan secara umum.

Di setiap organisasi, pasti ada budaya kerja yang bersumber dari paradigma tenggang rasa. Yang membedakan di sini adalah level kualitasnya. Bila merujuk ke pendapatnya Stephen Covey (1993), level kualitas tenggang rasa yang tertinggi adalah adanya budaya kesediaan untuk mengalah (win/lose) atau saling memenangkan (win/win). Padahal, nilai-nilai kearifan tradisional kita mengajarkan bahwa orang hanya akan bisa bersedia mengalah (win / lose) atau legowo, bila:
1. Punya komitmen untuk menjaga sikap yang positif
2. Punya kepasrahan yang tinggi terhadap Tuhan
3. Punya dorongan yang kuat untuk menghindari prilaku buruk
4. Punya kesediaan membantu orang lain secara tulus
5. Tidak selalu mengkalkulasi untung-rugi kehidupan dari sisi materi (spiritual)

Artinya, legowo itu adalah perbuatan orang yang kuat: kuat prinsip hidupnya, kuat imannya, atau besar jiwanya sehingga bersedia mengalahkan self-interest-nya demi untuk kepentingan orang banyak atau kepentingan yang lebih besar. Legowo sangat sulit diharapkan dapat dilakukan oleh orang yang lemah, entah lemah imannya atau lemah prinsip hidupnya. Begitu kita lemah, perasaan merasa kalah / dikalahkan akan cepat muncul sehingga mendorong kita untuk mengalahkan atau tidak mau dikalahkan.

Sebab lainnya adalah kualitas komunikasi. Semakin rendah kualitas komunikasi dalam organisasi, sangat mungkin akan memudahkan munculnya konflik dari kompetisi. Beberapa tandanya antara lain: saling membela-diri, saling bermain politik, saling bermain trik yang tidak jujur atau tersembunyi, harus ada yang dikalahkan atau dikorbankan.

Sedangkan untuk kualitas menengahnya, antara lain ditandai dengan: budaya saling menghormati, saling menggunakan diplomasi, atau saling menjaga perasaan. Pada tingkat ini, kompetisi sangat mungkin menjadi penyebab konflik, tetapi mungkin tidak terlalu mencolok atau tidak terlalu kotor.

Adapun untuk kualitas yang tinggi, tandanya yang paling kuat adalah munculnya sinergi dalam proses komunikasi dan interaksi. Bersinergi di sini mencakup antara lain: memberdayakan perbedaan untuk kebaikan, saling tolong menolong, saling memberi informasi yang lebih terbuka untuk hal-hal yang dibutuhkan, dan seterusnya. Budaya tenggang rasa dan komunikasi itulah yang sering membuat orang-orang sekantor seperti saudara atau sudah mampu membangun hubungan yang tidak lagi hanya sebatas diikat oleh kesepatan profesi atau tugas. Tapi, bisa pula membuat orang seperti musuh bebuyutan.

Peranan Pemimpin & Kepemimpinan

Jika kompetisi sudah berubah menjadi konflik, lebih-lebih yang sudah sampai pada aksi saling merusak, salaing memusuhi, dan saling melakukan pembunuhan karakter, maka keterlibatan seorang pemimpin sangat dibutuhkan. Hampir sangat jarang ada contoh yang membuktikan keberhasilan penyelesaian konflik di organisasi tanpa keterlibatan pemimpin. Mungkin itulah kenapa sampai ada ungkapan yang mengatakan bahwa organisasi itu lebih bagus ada pemimpinnya, meskipun dia bukan orang yang segalanya bagus.

Kita tentu sudah tahu bahwa pemimpin di sini maksudnya bukan semata sosok, melainkan sosok yang menjalankan fungsi kepemimpinan. Kalaupun sosoknya ada,tetapi fungsi kepemimpinannya tidak jalan, seringkali ini kurang berguna. Bahkan bisa-bisa pemimpin itu sendiri yang menjadi sumber konflik. Fungsi kepemimpinan yang sangat dibutuhkan dalam memotong mata rantai konflik itu adalah mengendalikan perbedaan individu dengan mengacu pada nilai dan visi organisasi. Kata Horney (Our Inner Conflict: 1945), setiap orang itu memiliki kebutuhan untuk menyendiri dari orang, mendekati orang, dan melawan orang. Bisa dibayangkan, jika dorongan untuk berbeda dan melawan itu tidak dikendalikan dengan visi dan nilai organisasi, supaya tetap on the track, maka organisasi itu akan menjadi ajang konflik dari perbedaan orang-orangnya. Yang satu begini dan yang lainnya begitu.

Fungsi penting lainnya adalah merumuskan atau menyepakati aturan main dalam organisasi. Dalam konteks ini, aturan main yang perlu digariskan adalah yang menyeimbangkan aspek pertumbuhan dan pemerataan. Tumbuh yang tidak merata dapat menimbulkan konflik, lebih-lebih ada pilih kasih, seperti juga merata yang tidak tumbuh: dapat menimbulkan conflict in harmony.

Fungsi lainnya adalah untuk memperkuat kultur yang bertenggang rasa tinggi atau yang kualitas komunikasinya tinggi. Seperti kita tahu, kultur dibentuk dari nilai, pengetahuan, tradisi, aturan, dan lain-lain. Jika merujuk ke sini, semua perusahaan / organisasi punya kultur. Bedanya adalah ada yang kuat, dalam arti yang mempraktekkan semua itu, dan ada yang lemah, atau hanya sekedar himbauan, mestinya, atau masih di tataran baru diidealisasikan, alias belum dipraktekkan. Siapa yang bisa menggerakkan ini kalau bukan pemimpin?

Intinya, fungsi kepemimpinan yang seringkali dapat menyelesaikan konflik adalah yang memutuskan untuk melakukan atau yang mengajak orang-orang menyepakati hal-hal yang akan dilakukan. Kalau hanya memainkan fungsi mengharapkan, menyalahkan konflik, atau menormatifkan, seringkali ini tak bisa mengubah apa-apa.

Bagaimana jika sosok pemimpin seperti itu tidak ada? Jalan lainnya adalah menunjuk satu atau dua orang yang berposisi sebagai penengah. Ini bisa sukses asalkan masing-masing pihak punya kecenderungan untuk berdamai. Tapi jika kecenderungan itu tidak ada, peran penengah sering gagal atau berjalan terseok-seok. Kecenderungan itu harus bisa dibuktikan adanya kesediaan untuk mengalah atau saling memenangkan. Jika kecenderungan itu hanya berupa ucapan, kerapkali ini masih belum cukup.

Apakah Semua Konflik Itu Selalu Jelek?

Kalau kita lihat lagi, konflik pun terkadang menghasilkan dinamika yang baik, meskipun konfliknya sendiri tetap jelek, tidak enak, atau sesuatu yang tidak kita inginkan. Beberapa ciri konflik yang menghasilkan dinamika positif itu antara lain:
• Jika mampu mengungkap borok atau persoalan yang selama ini tersembunyi
• Jika mampu menghasilkan evaluasi yang lebih baik
• Jika mampu membuat orang-orang memahami kenyataan yang sebenarnya
• Jika mampu mendorong orang-orang untuk lebih belajar lagi.

Tapi yang lebih sering terjadi, konflik juga menghasilkan dinamika yang buruk. Beberapa cirinya antara lain:
• Membuat produktivitas orang-orang menjadi anjlok,
• Moralnya menjadi rusak
• Api permusuhan berkobar dimana-mana
• Prilaku orang-orang makin ngawur
• Saling mendemontrasikan sikap konfrontasi.

Ketika sudah begini, kantor adalah satu-satunya tempat yang paling menjadi korban. Orang berangkat ke kantor bukan to work, tetapi to fight, kalah-menang sama-sama jadi abu. Kata orang, jika di sebuah kantor itu ada konflik yang merusak, maka nada dan cara orang mengangkat telepon atau menyambut tamu, sudah beda rasanya.

Semoga bermanfaat. (JPS)

Bagaimana Mengelola Hubungan Industrial Tanpa Kehadiran Serikat Pekerja

Wajah Ginandjar tampak berseri-seri sore itu ketika ia baru saja keluar dari sebuah kantor di Kawasan Bisnis Segitiga Emas. Betapa tidak, Ia baru saja menanda-tangani kesepakatan kerja dengan sebuah perusahaan di Kawasan Elite tersebut, sebagai seorang Manajer di Divisi Sumber Daya Manusia (SDM). Di perusahaan yang baru ini dan dengan posisinya yang baru, Ginandjar akan mendapatkan tanggung jawab kerja dan wewenang yang lebih luas dari peran yang selama ini ia jalankan di perusahaan tempatnya bekerja saat ini. Posisinya saat ini adalah sebagai Manajer Pelatihan dan
Pengembangan yang bertanggung Jawab untuk mengelola proses rekrutmen dan seleksi , pelatihan dan pengembangan karyawan. Sementara di posisinya yang baru, ia akan bertanggung jawab untuk mengelola seluruh spektrum dari Fungsi SDM yang ada di perusahaan yang bersangkutan, yaitu dimulai dari proses rerutmen dan seleksi, pelatihan dan pengembangan, remunerasi, administrasi personalia, dan hubungan industrial, hingga penanganan masalah pensiun.

Bila melihat tanggung jawab yang akan diembannya di perusahaan yang baru, wajar saja bila Ginandjar cukup senang atas tantangan yang ditawarkan oleh perusahaan yang baru. Namun di balik keceriaan yang ditampilkannya sore itu, ada terbesit di dalam pikiran Ginandjar, satu peran baru yang membuatnya sedikit cemas, yaitu mengenai pengelolaan hubungan industrial di perusahaan. Masalahnya adalah adanya perbedaan persepsi yang ada pada dirinya mengenai hubungan industrial dengan keinginan dari pihak manajemen perusahaan. Dalam pandangan Ginandjar , fungsi hubungan industrial sebaiknya dikelola dengan melibatkan serikat pekerja. Sedangkan dari pihak manajemen perusahaan menginginkan bahwa pengelolaan hubungan industrial dilakukan tanpa kehadiran serikat pekerja. Hal ini terjadi karena manajemen perusahaan percaya bahwa hubungan industrial yang positif dapat dibangun tanpa perlu hadirnya serikat.

Sepanjang pengetahuannya semua perusahaan yang mempekerjakan minimum 25 orang karyawan wajib mempunyai sebuah serikat pekerja. Mungkinkan hubungan industrial yang positif terjalin tanpa kehadiran dari serikat pekerja?

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam benak Ginandjar sering pula menjadi kekhawatiran para praktisi SDM yang mungkin sedang mengalami situasi yang mirip seperti yang dihadapi oleh Ginandjar atau yang berkeinginan untuk mengembangkan karirnya menjadi seorang generalis di bidang SDM. Pada dasarnya di dalam mengelola hubungan industrial di perusahaan, keberadaan Serikat Pekerja bukanlah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Bila kita merujuk kepada Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 106 dinyatakan :
1. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
2. Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan
3. Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan


Berdasarkan Undang-undang tersebut di atas, yang wajib dipenuhi oleh perusahaan dalam mengelola hubungan industrialnya adalah adanya lembaga kerjasama bipartite, dan tidak harus melulu melalui hubungan dengan Serikat Pekerja. Dengan perkataan lain, perusahaan dimungkinkan untuk mengelola hubungan industrialnya tanpa ada keterlibatan dari Serikat Pekerja. Meskipun Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 memberikan kemungkinan untuk itu, bukan berarti perusahaan dapat melakukan kampanye anti serikat pekerja di perusahaan dalam mengelola hubungan industrialnya, karena hal ini bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh,yang mengamanatkan :
"Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
1. Melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan atau melakukan mutasi
2. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh
3. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun
4. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh"

Apabila anda menjadi Ginandjar, apa yang akan anda lakukan dalam mengelola hubungan industrial di perusahaan tanpa melibatkan serikat pekerja ? Uraian-uraian berikut ini akan menjelaskan mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengelola hubungan industrial di dalam perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja. Uraian-uraian ini dibuat berdasarkan pengalaman yang dialami oleh penulis; yang pernah bekerja di perusahaan yang mengelola hubungan industrialnya dengan keterlibatan dari serikat pekerja dan tanpa serikat pekerja; serta dari studi literatur yang ada

A. Hubungan Industrial Tanpa Serikat Pekerja

Perusahaan-perusahaan yang membangun hubungan industrial yang produktif namun tidak ingin melibatkan serikat pekerja di dalam keseluruhan prosesnya dapat mempertahankan kondisi tersebut apabila :
1. Mampu meningkatkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja
2. Manajemen perusahaan mampu dan berkeinginan untuk menawarkan kondisi kerja yang sama atau lebih baik dari yang dapat mereka harapkan dari serikat pekerja (Mondy, Noe, & Premeaux, 2002)

A.1. Faktor faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja

Menurut American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations; AFL - CIO (Nation Business No. 54, 1966) ada sejumlah faktor yang dapat menurunkan kesempatan bagi terjadinya pengorganisasian serikat pekerja di perusahaan, seperti berikut :
• Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak memanfaatkannya.
• Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya.
• Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik disimpan oleh perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka mengetahui bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai.
• Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang sewenang-wenang. Para karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Stone (1998) yang mengemukakan bahwa Kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan dari manajemen mendorong pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja
• Tidak adanya favoritisme; yang biasanya diperoleh melalui mekanisme diluar prestasi kerja.
• Para supervisor yang mempunyai hubungan baik dengan para bawahannya.

Walaupun faktor-faktor tersebut muncul di Amerika Serikat, namun berdasarkan pengalaman penulis menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut masih relevan untuk dipertimbangkan dalam konteks hubungan industrial di Indonesia. Sebagai contoh : penulis dalam kapasitasnya sebagai Manajer SDM pernah menyelesaikan pembuatan peraturan perusahaan dengan baik tanpa menimbulkan konflik, di perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja. Dalam proses pembuatan peraturan perusahaan ini, para perwakilan karyawan dilibatkan dalam memberikan usulan perubahan terhadap peraturan perusahaan yang ada. Memang tidak semua usulan perwakilan karyawan dapat diterima.

Namun demikian, dengan pendekatan ini para karyawan tidak merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak perusahaan. Dengan pendekatan ini pula, para perwakilan karyawan akan mempunyai rasa memiliki terhadap aturan-aturan yang ada. Hal ini kelak akan memudahkan pihak manajemen dalam menegakkan peraturan yang ada. Disamping itu hubungan baik yang terjalin antara penulis dengan perwakilan karyawan yang ada memudahkan penulis untuk menjelaskan alasan-alasan yang menyebabkan usulan-usulan perwakilan karyawan belum dapat dipenuhi.

A.2. Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya keinginan membentuk serikat pekerja

Menurut Mondy, Noe, Premeaux ( 2002) ada sejumlah faktor yang apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat mengundang munculnya serikat pekerja. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Supervisor lini pertama yang berfungsi efektif
Hal yang paling penting bagi perusahaan agar tetap mempunyai kemampuan dalam mempertahankan status bebas serikat pekerja adalah efektifitas dari manajemennya, khususnya para Supervisor pada lini pertama. Para Supervisor ini merupakan pertahanan awal pihak manajemen terhadap serikat pekerja. Kemampuan para Supervisor ini dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, penilaian karya , keluhan karyawan, penegakkan disiplin dan pemberian penghargaan, akan mempengaruhi sikap karyawan terhadap perusahaan. Bila mereka mampu menangani masalah-masalah yang muncul dengan baik, kemungkinan besar sikap karyawan akan lebih positif terhadap perusahaan. Dengan demikian dapat menghindarkan karyawan untuk berpikir mencari alternatif pemecahan masalah yang lain, yang salah satunya melalui serikat pekerja. Peran para Supervisor ini tidak dapat diabaikan, walaupun mereka adalah tingkatan manajemen terendah di dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena para Supervisor biasanya mempunyai pengaruhi yang lebih besar kepada para karyawan dibandingkan dengan para Manajer lainnya.
b. Adanya kebijakan bebas serikat pekerja
Apabila perusahaan mempunyai sasaran untuk tetap mengelola hubungan industrialnya tanpa keterlibatan serikat pekerja, maka kebijakan tersebut seharusnya dikomunikasikan dengan baik dan berulang-ulang pada seluruh karyawannya. Para karyawan harus diberikan informasi yang lengkap dan tepat tentang alasan-alasan yang mendasari pihak manajemen organisasi untuk mengambil kebijakan ini dan dampak kebijakan ini terhadap seluruh karyawan. Komunikasi yang efektif diperlukan untuk meyakinkan para karyawan tentang manfaat yang diperoleh oleh organisasi dan juga para karyawan atas penetapan kebijakan bebas serikat pekerja ini. Khususnya di Indonesia, penetapan dan penerapan kebijakan bebas serikat pekerja ini tidak dapat dilakukan sepenuhnya seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Dengan demikian hal ini harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan bahwa langkah yang diambil organisasi ini tidak dianggap sebagai upaya untuk melakukan kampanye anti serikat pekerja. Sesuatu kebijakan yang akan dianggap melanggar pasal 28 Undang Undang No. 21 Tahun 2000.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis, banyak perusahaan di Indonesia yang tidak secara resmi atau tertulis menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan bebas serikat pekerja. Namun dalam prakteknya mereka melakukan hal tersebut. Hal ini mungkin bagian dari taktik perusahaan agar tidak dianggap melanggar undang undang. Namun demikian menurut hemat penulis, seandainya memang perusahaan ingin mengelola hubungan industrialnya tanpa keterlibaan serikat pekerja, maka sebaiknya perusahaan tidak perlu menetapkan dan menyatakan kebijakan ini secara terbuka kepada siapapun.
Selain itu, praktisi SDM yang ada di perusahaan harus memahami dengan baik ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai serikat pekerja.

c. Komunikasi yang efektif

Agar tetap bebas dari serikat pekerja, perusahaan harus mampu membangun sebuah komunikasi yang efektif dengan seluruh elemen yang ada di dalam organisasi. Berbagai cara dapat dilakukan untuk membangun proses komunikasi yang efektif di dalam perusahaan, antara lain melalui :
1. Manajemen partisipatif
Melalui manajemen partisipatif ini, para karyawan diberi kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan tertentu oleh atasannya. Dengan pendekatan ini demikian para manajer dapat mendengarkan dan memahami gagasan-gagasan, umpan balik, maupun keberatan dari para karyawan. Dampak utama yang diharapkan dari pendekatan ini adalah terbentuknya sikap positif dan keyakinan dari para karyawan bahwa mereka telah diperlakukan dengan baik dan bahwa atasan mereka merupakan pihak yang tepat untuk menyalurkan aspirasi mereka, dan bukan serikat pekerja.
2. Manajemen Kinerja (Performance Management)
Salah satu bentuk dari komunikasi yang efektif adalah apabila para karyawan memahami tugas-tugas yang harus dilakukannya, diberikan informasi yang diperlukan mereka untuk melakukan pekerjaan dengan baik, dan diberikan umpan balik atas kinerja yang ditampilkannya. Semua kondisi tersebut di atas hanya dapat terjadi apabila proses manajemen kinerja di dalam perusahaan sudah berjalan dengan baik. Dengan penerapan manajemen kinerja yang baik maka akan menghindarkan munculnya konflik di tempat kerja yang disebabkan oleh ketidak-jelasan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para karyawan. Konflik yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menciptakan ruang bagi kemungkinan munculnya keinginan dari karyawan untuk membentuk serikat pekerja. Khususnya bila karyawan yang bersangkutan merasa tidak puas dengan penyelesaian konflik yang dilakukan oleh atasannya atau pihak manajemen perusahaan.
3. Open door policy
Open door policy adalah kebijakan perusahaan yang memberikan hak kepada para karyawan untuk membawa berbagai masalah/keluhan kepada atasan dari atasan langsung, apabila penyelesaian yang memuaskan tidak dapat diperoleh dari atasannya langsung. Dengan kebijakan ini, maka para karyawan didorong untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapinya tetap dalam kerangka struktur organisasi yang ada. Dengan demikian dapat memastikan bahwa berbagai masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan memuaskan Dengan demikian memperkecil ruang bagi munculnya keinginan untuk mencari penyelesaian di luar struktur organisasi.

Agar kebijakan ini berjalan dengan efektif maka para karyawan tidak boleh merasa takut bahwa dengan melaporkan masalah yang dihadapinya kepada atasan dari atasan langsungnya, akan menghambat karirnya. Untuk itulah para pihak yang terlibat dalam proses ini harus memiliki sikap dewasa, terbuka dan saling percaya satu dengan lainnya. Kebijakan ini akan menjadi kontra produktif bila karyawan yang melaporkan keluhannya kemudian dihukum atau dihambat karirnya karena telah mem"bypass" atasannya langsung.

d. Kepercayaan dan keterbukaan

Kepercayaan dan keterbukaan dari para manajer dan para karyawan merupakan hal yang tidak dapat dilupakan bagi perusahaan untuk tetap dapat mengelola hubungan industrialnya tanpa kehadiran dari serikat pekerja. Kredibilitas yang didasarkan atas kepercayaan harus ada diantara manajemen dan para karyawan. Bila para karyawan mempersepsikan bahwa manajernya cukup terbuka dan dapat menerima gagasan-gagasan dari mereka, maka akan muncul lebih banyak umpan balik kepada manajernya. Manajer membutuhkan umpan balik ini untuk melaksanakannya pekerjaannya secara efektif. Bila manajer memberikan kesan bahwa perintah-perintahnya tidak boleh dipertanyakan, maka komunikasi akan tersumbat dan kredibilitas manajer perlahan-lahan akan hilang.

e. Program-program kompensasi yang efektif

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa program kompensasi yang efektif akan menjadi daya tahan tersendiri bagi perusahaan dari "gempuran" pihak-pihak yang menginginkan berdirinya serikat pekerja di perusahaan. Kompensasi yang efektif berarti bahwa sistim penggajian dan kesejahteraan diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk mendorong mereka berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan. Contoh : Pemberian bonus bagi para karyawan yang berprestasi di atas rata-rata, kenaikan gaji berkala yang dilakukan sesuai dengan kemampuan perusahaan dan kenaikan gaji pada industri sejenis, bantuan biaya pendidikan bagi karyawan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yang relevan dengan pekerjaannya, dll.
Berdasarkan pengalaman penulis dalam menangani permasalahan serikat pekerja, diketahui bahwa umumnya isu yang menjadi bahan perselisihan oleh serikat pekerja adalah menyangkut hal-hal yang bersifat normatif, seperti kenaikan gaji, uang lembur, jaminan kesehatan, jamsostek , dan sebagainya. Dengan demikian, apabila perusahaan telah mempunyai program-program kompensasi yang efektif, maka sebagain besar potensi masalah yang dapat menjadi titik awal munculnya perselisihan perburuhan, yang dapat mengarah pada upaya pembentukan serikat pekerja telah dapat dieleminir. Namun demikian, program kompensasi yang efektif yang diberikan oleh pihak perusahaan harus secara berkala ditinjau ulang dan dikelola dengan baik. Hal ini untuk memastikan bahwa program-program yang ada tetap kompetitif dan menarik bagi para karyawan, khususnya bagi karyawan yang berprestasi. Pemberian kompensasi yang menarik namun tidak dikelola secara efektif malah akan menjadi pemicu munculnya ketidak-puasan karyawan, yang pada akhirnya akan menstimulasi munculnya perselisihan yang dapat mendorong munculnya upaya-upaya pembentukan serikat pekerja.

f. Lingkungan kerja yang sehat dan aman

Lingkungan kerja, tak pelak lagi menjadi faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam membangun hubungan industrial tanpa kehadiran serikat pekerja. Lingkungan kerja yang sehat dan aman akan menciptakan ketenangan bekerja bagi para karyawan. Lingkungan kerja yang tidak memberikan perlindungan yang baik bagi karyawan, akan memberikan ruang bagi terjadinya kecelakaan kerja. Semakin banyak terjadinya kecelakaan kerja akan mendorong karyawan menuntut pada pihak perusahaan untuk memenuhi kewajiban normatifnya. Bukan tidak mungkin, karyawan akan membawa masalah ini kepada pihak luar, bila pihak perusahaan tidak berupaya menananggapi masalah ini arif. Bila hal ini terus berkepanjangan, maka ruang bagi munculnya serikat pekerja telah terbuka dengan luas di perusahaan.

Kesimpulan

Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa kehadiran serikat pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang ketenaga-kerjaan yang ada di Indonesia. Banyak perusahaan yang telah menerapkan hal ini. Namun demikian dalam melaksanakan hal tersebut di atas, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari tuntutan hukum karena dianggap menghalangi pembentukan serikat pekerja, yang merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang no 21 tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Buruh.

Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat pekerja, dapat dibangun apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya pengorganisasian serikat pekerja seperti telah disebutkan dan dijabarkan di atas, telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan. Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa semua faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lainnya.

Tidak adanya salah satu faktor dari faktor-faktor yang tersebut di atas, dapat mengurangi kemampuan perusahaan untuk menghindari terjadinya pengorganisasian serikat pekerja di perusahaan. Ulasan di atas, diharapkan dapat membantu Anda, mengambil sikap yang tepat, dalam menjawab tantangan-tuntutan- kebutuhan seputar serikat kerja di perusahaan tempat Anda bekerja. Semoga bermanfaat. (jr)

**Penulis adalah alumnus Program Pasca Sarjana Psikologi Jurusan Psikologi SDM – Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Saat ini penulis merupakan praktisi SDM di sebuah perusahaan Multinasional Asing (JPS)